Terfikir sebuah retorika,
mengapa aku bisa hidup di dunia semu ini? Banyak makhluk yang bertopeng,
mencari kursi kehidupan yang rapuh, menjaga eksistensi maya dan sebagainya. Aku
merasa hidup ini terlalu sulit untuk berhadapan dengan makhluk –makhluk seperti
itu.
Ketika aku kecil, aku sempat
bertanya kepada seorang manusia yang aku tak tahu mengapa rautnya begitu indah
untuk dipandang. Mengapa ada kehidupan? Mengapa ada pohon? Mengapa harus makan?
Mengapa sayur banyak vitamin? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ia begitu
tulus untuk menjawab setiap pertanyaan itu. Aku bahkan tak tahu, mengapa ia
bisa menjelaskannya secara detail dan aku begitu percaya dengan setiap
omongannya.
Semakin percaya aku bahwa ia
adalah bidadari ketika ia bisa mengusap kepedihan yang aku lukiskan melalui air
mata. Saat aku terjatuh dari sepedaku dan aku merasa aku akan mati! Dekapan itu
membuat aku hidup kembali. Coba, coba, dan coba. Aku terus mencoba untuk
mendapatkan dekapan itu. Memulai sepedaku yang beroda empat, beroda tiga dan
akhirnya aku bisa mengendarai sepedaku tanpa bantuan roda tambahan itu.
Setiap sore kami berjalan,
dengan sepeda kecilku, kami berdua, dengan setiap cerita yang begitu antusias
aku dengarkan. Tak terasa sudah lima belas menit kami berjalan untuk mencapai
rumah nenek. Keringat itu sengaja aku hapus dari keningnya dan aku ambil
segelas air putih yang segar untuk menyejukkan tenggorokannya. Aku merasa
inikah manusia yang akan membantuku di dunia ini?
Bidadari mana yang bisa menggantikannya?
Saat dingin merasuki setiap jengkal tubuhku, ia sudah berada disisiku? Bidadari
mana yang bisa menggantikannya? Ketika aku tak mau makan, ialah pencerita
pangeran dan monster jahat? Aku adalah manusia yang paling sempurna saat
bidadari ini selalu dekat disampingku.
Aku mengenal teman dan
lingkungan sekitar. Aku begitu banyak mendapatkan pengalaman dari teman sebaya
waktu itu. Ketika kami sedang bermain layang-layang, seseorang menyuruhku untuk
pulang dan pergi ke mesjid untuk solat. Agh! Aku sedang sibuk bersama
teman-temanku! Aku sempat membentaknya. “nanti dulu, bu. Aku masih nunggu
layanganku turun.” Ia begitu yakin dengan jawabanku. Aku begitu letih, dan
solatpun kutinggal, dan ya, aku juga tak ke mesjid. Waktu telah terlalu larut
untuk melaksanakan solat magrib. Ia marah besar kepadaku. Mulai besok, aku tak
boleh bermain layangan pada sore hari.
Agh! Teman. Merekalah setanku
waktu itu. Mereka begitu luar biasa menggodaku. Setiap saat, setiap ada celah,
mereka pasti menawarkanku kegiatan buruk mereka. Ayolah! Lempar saja jambu itu,
orangnya lagi gak ada tuh! Ayo, jangan takut, petasan ini gak akan buat kamu
mati kok! Terkadang aku terikuti oleh setiap omongan mereka dan alhasil aku
mendapatkan batunya di rumah.
Mengapa bidadari ini terlalu peduli
dengan hidupku? Aku punya kehidupan dan tak ada seorangpun yang bisa mengganggu
hidupku! Mungkin ada kata kasar yang tak sengaja aku ucapkan, diam-diam, dini
hari, aku melihat seorang bidadari indah, dengan telekung putih menitikkan air
mata diatas sejadah. Begitu indah, begitu indah, aku diam-diam masuk kedalam
pangkuannya. Dengan cepat ia menghapus setiap titik air mata yang ada di
pipinya. “ibu gak papa? Kok nangis?”.Ia hanya tersenyum, banyak nasehat yang ia
ceritakan kepadaku disitu. Ntah mengapa, setiap dongeng yang ia ceritakan pasti
aku laksanakan di kehidupan yang semu ini.
Aku begitu yakin, bidadari itu
ada. Ketika aku beranjak remaja, teman dan setan selalu menemani langkahku.
Perselisihan dengan bidadari ini selalu saja ada setiap hari. Aku mulai bosan
dengan setiap ceritanya, aku mulai risih ketika aku berbeda dengan
teman-temanku yang mereka selalu bebas dengan kehidupannya, dan aku mulai
melanggar setiap peraturan bidadari ini untuk teman yang memperburuk
kehidupanku. Aku mulai meragukan bidadariku
ini.
Susu putih setiap pagi? Nasi
goreng yang lezat? Mengapa ia selalu menyiapkanku perbekalan yang cukup untuk
kegiatanku setiap hari? “Bagaimana sekolahmu?”. Kalimat inilah yang pertama
kali ia ucapkan setiap kali aku pulang sekolah. Tapi aku masih meragukan
bidadari ini.
Mengingatkanku untuk solat
melalui telepon? Mengingatkanku untuk pulang? Menungguku pulang sekolah sampai
magrib? Mengapa ada seorang bidadari indah seperti ini yang aku sia-siakan?
Begitu banyak pertanyaan yang ada di kepalaku ini. Mungkin aku merindukan
sebuah dekapan saat aku terluka dalam menjalankan kehidupan ini? Mungkin aku
juga merindukan sebuah dongeng monster yang selalu menemaniku setiap malam.
Semakin aku dewasa, semakin aku
tahu, bidadari inilah yang selalu melengkapi hidupku. Yang selalu menyiapkan
makan malamku, ketika aku pulang les tambahan sampai jam sepuluh malam? Yang
selalu mendoakanku setiap malam untuk setiap cita-citaku? Siapa lagi yang bisa
menggantikannya?
Mungkin wajahnya sudah tak
sesegar dulu, tapi jiwanya seakan selalu memudakan dirinya. Aku mungkin merindukan setiap detik
bersamanya. Bersama ketika kami melewati hujan deras dan ia memberikanku jaket
hangatnya untukku? Bersama ketika kami takut dalam kilatan petir? Bersama
ketika kami menertawakan seorang gila yang memakan sampah?
Kerinduan ini sudah pupus saat
aku dewasa, bidadari ini selalu menyemangatiku dalam hidup, mendengarkan setiap
cerita gundahku, membantuku untuk membangun sedini mungkin untuk belajar,
menggangguku dalam belajar agar tak terlalu gila, membuatkan teh panas ketika
aku sakit.
Sekarang bidadari ini sudah
menjadi temanku, tak ada yang bisa menggantikannya didalam qalbu ini. Ia
menggantungkan hidupnya demi aku, sang anak yang terlalu banyak menorehkan
cerita singkat didalam kehidupannya. Setiap langkahku, selalu ia tuliskan dalam
doa. Menahan sakit yang begitu perih oleh karena aku. Semua itu ia lakukan demi
aku.
Ibulah bidadariku, bidadari
duniaku, sang bidadari yang mengenalkan diriku, mengapa aku hidup?
Ibu