marquee

welcome to my blog!! Enjoy it! DQalb

Minggu, 14 Oktober 2012

Cerpen "Pelaut"



            Sudah dua malam ayah tidak pulang, kami mengkhawatirkannya. Hanya berbekal kapal kecil yang dipinjam oleh kepala dermaga, pancing, jalam dan peralatan kecil lainnya, dengan beraninya ia menyusuri laut dua hari yang lalu. Melambaikna tangan kasarnya di bibir pantai kepada kami yang melihat dari teras rumah.
            Pak Joko sudah menunggu di teras rumah. Kacamata hitam, baju hitam, celana hitam, bersepatu hitam kilat dan sebuah catatan kecil ditangannya. Aku mengintip sedikit kehadiran pak Joko, tetapi ibu menyuruhku untuk melihat adikku yang sedang tidur di kamar.
            “Hei Aisyah! Aku tidak bias berlama-lama disini. Bisakah kau keluar sebentar?” terdengar suara pak Joko sampai ke kamar ibuku. Berlari secepat kilat Ibu membuka pintu. “Ya pak? Apa yang bisa ku bantu?” senyum ibu yang mengetahui mengapa pak Joko datang ke rumah. “Hutang kalian. Akan sangat terbantu jika kau membayarnya sekarang. Total semua hutangmu adalah sembilan ratus ribu.” Celetuk pak Joko. “Mmm… Tunggu sebentar ya pak. Mau minum apa pak? Atau mari pak, silahkan masuk dulu.”. “ah, tak usah, aku mau cepat, kau ambil saja uangmu cepat.” . Ibu langsung ke kamar mengeluarkan sebuah kaleng roti yang berisikan harta kami. Yang hanya tersisa hanya dua lembar uang lima puluh ribu, tiga lembar uang sepuluh ribu dan delapan lembar uang seribu. Ia mengambil semua dan mendatangi pak Joko. “Ini yang aku punya, pak” memberikan seluruh lembaran tadi. “Hah? Sedikit sekali? Ini hanya untuk makan siangku dua hari! Aku gak mau tahu, aku beri waktu lima hari lagi. Kau harus melunasinya. Apabila tak kunjung lunas akan ku gadai rumah ini.” Ancam pak Joko. Hati ibu merasa senang mendengar kebaikan pak Joko. Jarang, mungkin sedikit sekali rentenir baik seperti dia.
            Hari ketiga, ayah belum pulang juga. Aku kasihan kepada ibu yang sedang duduk di teras rumah, kelelahan satu harian menjaga jompo di kota. Tak terlihat lagi paras cantik ibu. Yang ada hanyalah wajah yang tak terawat lagi. Ia sangat khawatir dengan ayah. Apa yang harus aku lakukan? Menyusul ayah ke laut? Tidak, itu berarti aku mendatangkan maut karena ombak tak bersahabat akhir-akhir ini. Ya, aku akan berusaha. Mencari uang untuk melunasi hutang ibu.
            “Mau kemana, Cikal? Sudah sore mau keluar?” sambil mengusap air matanya. Sore? Pikirku tidak. Ini masih pukul dua siang, mungkin pikiran ibu lagi banyak, sampai-sampai ia tidak tahu pukul berapa ini. “Cikal mau ke pasar bu, mau mencari pekerjaan, untuk melunasi hutang ibu,” “Sudahlah Cikal, belajar saja yang baikm jangan mengurus ibu.” ucapnya. “Bu.. Cikal libur selama tiga minggu, menunggu hasil UN dan raport bu, jadi, ibu jangan mengkhawatirkan Cikal.” “Ibu mengerti Cikal. Baiklah, jika itu maumu.” Aku keluar dengan sebelumnya mengecup tangan ibu.
            Aku pergi ke sebuah grosir yang menjual segala sembako. Aku mendapatkan pekerjaan disana. Menjadi pengangkat beras dan menjualnya. Hasilnya? Ya lumayan. Aku mendapatkan lima belas ribu rupiah. Jika aku kumpulkan sebelum pak Joko datang, mungkin bisa meringankan pekerjaan ibu untuk mengumpulkan uang. Ibu pergi ke kota dan menjadi penjaga jompo. Hasilnya juga memuaskan.
            Dihari pak Joko datang, ia datang pagi sekali. Dengan seragam lengkapnya, baju hitam, celana hitam, kacamata hitam dan sepatu mengkilat. “Aisyah, oo Aisyah.. Hutangmu Aisyah.. aku menagihnya sekarang.”. Bergegas ibu membuka pintu sambil memasang kerudungnya. “Pak, saya hanya punya setengahnya. Mas Hendra belum pulang dari kemarin.” Ucap ibu. “Lama sekali ia pulang? Selingkuh lagi dia mungkin? Ya sudah, setengahnya juga tidak apa. Tapi setelah Hendra pulang, lunaskan hutangmu ya.” Ibu hanya tersenyum dan pak Jokopun berlalu.

*          *          *          *

            Hari ke enam, ayah belum pulang. Aku,ibu dan adik-adikku hanya bisa menyantap makan malam dengan nasi dan garam. Lebih nikmat jika ditemani ayah. Tok tok tok. Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku membukanta. AYAH! Aku tahu dia akan pulang. Aku bisa merasakan aroma pelautnya! Aku bisa mengecup tangan kasarnya lagi! Hampir aku menitikkan air mata karena itu.
            Kami makan malam bersama, aku menceritakan kejadian kami kepada ayah dan ayah menceritakan kejadiannya. Aku sangat bangga kepada ayahku. Melintasi lautan mencari nafkah demi anak dan istrinya. Mencari ikan bersama beberapa temannya. Ia terdampar di pulau kecil karena badai yang mengguncang kapal ayahku.
            “Yah, hutang kita tinggal setengah lagi kepada pak Joko.” Aku memecahkan keheningan disaat beku setelah makan. Ayah mengeluarkanplastik di kantongnya. “Sebelum ayah pulang, ayah melelang hasil melaut kami, kami mendapatkan 15 ekor ikan besar, lumayan besar dan kalian tahu? Ayah bisa membayar semua hutang kita dan mendapatkan lebih dan untuk kau masuk SMA, Cikal.”  Aku terharu melihat ayah begitu besar semangatnya untuk membahagiakan kami. Lalu, setelah berbicara cukup lama, ayah pergi ke rumah pak Joko untuk melunasi hutang kami.
            Hari kedua kepulangan ayah. “Buk, aku mau melaut lagi, semoga aku bisa mendapatkan seperti kemarin, mendapatkan ikan besar. Doakan aku ya bu.” Ibu tersenyum melihat ayah “Kami selalu mendoakan ayah disini selalu.” Dan ayah berlalu, berpanitan kepada kami dan pergi besama teman-temannya. Mereka bertiga, dengan semangat pelaut, otot yang kekar saat menarik kapal ke laut. Adikku melambai ke arah ayah. Sebelum ayah pergi, ia membisikkan kepadaku, saat kau sekolah nanti, banggalah, ayahmu adalah seorang pelaut, pelaut ikan besar. Aku hanya bisa tersenyum sendiri karena ikan besar hanyalah kebetulan jikapun ayah mendapatkannya.
      *          *          *          *
            Delapan hari lagi aku akan menerima hasil raportku. Hari liburku diisi dengan bekerja di grosir di  menjaga jompo di kota. Sekarang mungkin hari-hari tampak biasa saja tanpa ayah, karena kami sudah tidak mengkhawatirkannya lagi karena ayah sudah mengatakan bahwa mungkin ia akan lama. Tetapi, aku ingin ayah melihat dan mengambil raport ku di sekolah nanti. Aku tak sabar. Pagi, siang , sore, malam, aku tetap menunggu ayah.
            Di hari aku ingin menerima raport, aku tak ingin mengambil raport tanpa ayah. Ibu memujukku untuk pergi bersamanya mengambil raportku. “Ayolah Cikal, ayah pasti senang walaupun bukan ia yang mengambil raportmu.” Aku tetap berdiam di kamar, dan akhirnya aku menuruti perintah ibu untuk pergi bersamanya menerima raport.
            Sesampai di sekolah, jantungku berdegub kencang. Aku takut mengecewakan ibu, apalagi ayahku dengan apabila nilaiku buruk. “Cikal” kata pak Safrul sebagai wali kelasku memanggil ibu untuk menghadapinya di meja depan. Mereka cukup lama berbicara, aku tak tahu apa yang mereka katakan. Aku melihat muka datar dari wajah ibu. “Cikal, kita akan melihat hasilmu bersama ayah nanti.” Ah! Aku sangat kecewa dengan pernyataan ibu, harus berapa lama lagi aku harus menunggu ayah untuk membuka raportku? Ah, masa bodoh, yang jelas bersama ayah.
            Aku lebih kecewa saat ayah tak kunjung pulang. Dua hari setelah pembagian raport. Antara ayah dan hasil raportku. Aku sangat ingin membukanya tapi aku ingin melihatnya bersama ayah. Tapi ayah belum pulang juga. Ahh! Aku harus membukanya. “Bu.. kita harus membukanya” aku mendatangi ibu yang sedang mencuci. “Buka apa?” ibu menyeletuk sambil menyuci. “Raport Cikal, Bu”. “Tapi kau ingin melihatnya bersama ayah? Mmmmm.. Tapi..” putus ibu. “Tapi apa , Bu?” “Mmm.. ayo kita buka!”
            Selesai ibu menyuci, kami langsung mengambil sebuah map tipis yang disimpan ibu di lemari. “Kau mendapatkan juara kedua, Cikal. Kau mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahmu ke kota.” Aku tidak menyangka, aku menitikkan air mata. Walaupun bukan juara pertama, tapi, aku sangat bahagia karena bisa mendapatkan beasiswa. “Eh, eh, jangan senang dulu, kita diskusikan ini dengan ayah, apakah kau bisa melanjutkan sekolah ke kota atau tidak. Hening sejenak dan pecahlah tawa kami. Ya, ayah.
            Aku tidak sabar, kapan ayah pulang, apakah ia terdampar lagi? Apa ia sedang melelang ikannya? Atau ia sudah mati? Ntah mengapa aku memikirkan itu. Ah!! Masa bodoh!! Aku harus berfikir positif. Ayah pasti masih berada di pulau kecil bersama teman-temannya sambil memikirkan bagaimana mereka bisa pulang dengan selamat mengarungi kejamnya ombak.
*          *          *          *
             Sudah dua minggu ternyata ayah tidak pulang juga. Aku mengambil inisiatif untuk mendaftar ke SMA di kota sendiri tanpa izin ayah.
            Dan ternyata, memang benar, aku lulus di SMA di kota, kegembiraanku tak bisa dilukiskan lagi. Bagaimana  bisa seorang anak kampung bisa masuk ke sekolah hebat di kota yang didalam sekolah tersebut terdapat orang-orang yang tak mengenal jala, perahu kecil, ataupun udang umpan. Yang mana orang tua mereka selalu bisa mengenakan sepatu kilat dan kuda besi mewah. Sedangkan aku? Seorang anak kampung dengan orang tua yang hanya merupakan penjaga jompo dan nelayan. Hmm.. terfikir dalam benakku lagi, apakah ayah masih mengizinkanku bersekolah disini?
            Ayah. Aku tetap menunggu ayah, aku selalu berdoa agar ayah selamat dari kejamnya lautan itu. Kami semua sangat mengkhawatirkan ayah.  Aku yang selalu merindukan wajah gelap itu, tangan kasar yang selalu aku salam ketika ingin berpamit sekolah, dan aku yang sangat menginginkan ayah.
            “Ya Allah, bantu aku ya Allah, aku sangat rindu ayahku. Aku rindu tubuh tegasnya, aku rindu wajahnya yang menghitam karena sinar matahari, aku rindu akan tangan kasarnya lagi. Ya Allah, bolehkah aku bertemunya lagi?”
*          *          *          *
            Aku sangat kecewa, kesal dan marah. Kenapa? Kenapa Tuhan tidak mendengarkan doaku? Sudah tiga minggu aku menunggu ayah, tapi hasilnya kosong. Aku mendengar rumor dari kampung selatan, pelaut ikan disana menemukan pecahan, serpihan kapal, dan bangkai ikan besar disekitar kapal tersebut.
            “Aku tahu itu bukan ayah. Pasti bukan ayah. Tapi itu mungkin ayah, pasti itu ayah!”  Aku tak sanggup mendengar rumor-rumor tersebut. Aku mengingat kembali saat ayah membantuku mengerjakan pekerjaan sekolahku, aku mengingat ayah membuatkanku sebuah kapal kecil dari serabut kelapa, dan aku terus membuka memoriku tentang ayah.
            Ya, rumor itu benar. Itu adalah ayah. Aku tak bisa melihat tubuh tegapnya lagi, tak bisa melihat wajah gosongnya lagi, dan tangan kasar yang selalu kusalam disetiap berpamitan. Dan aku hanya bisa mengenang apa yang dikatakan ayah, “Banggalah kepadaku, walaupun aku bukanlah seorang besar yang bisa membesarkanmu dengan kebesaran, tetapi aku adalah jiwa yang besar yang mampu mengolah kebesaran Tuhan untuk membesarkanmu”

Tidak ada komentar: