Sudah dua malam ayah tidak pulang, kami
mengkhawatirkannya. Hanya berbekal kapal kecil yang dipinjam oleh kepala
dermaga, pancing, jalam dan peralatan kecil lainnya, dengan beraninya ia
menyusuri laut dua hari yang lalu. Melambaikna tangan kasarnya di bibir pantai
kepada kami yang melihat dari teras rumah.
Pak Joko sudah menunggu di teras rumah. Kacamata hitam,
baju hitam, celana hitam, bersepatu hitam kilat dan sebuah catatan kecil
ditangannya. Aku mengintip sedikit kehadiran pak Joko, tetapi ibu menyuruhku
untuk melihat adikku yang sedang tidur di kamar.
“Hei Aisyah! Aku tidak bias berlama-lama disini. Bisakah
kau keluar sebentar?” terdengar suara pak Joko sampai ke kamar ibuku. Berlari
secepat kilat Ibu membuka pintu. “Ya pak? Apa yang bisa ku bantu?” senyum ibu
yang mengetahui mengapa pak Joko datang ke rumah. “Hutang kalian. Akan sangat
terbantu jika kau membayarnya sekarang. Total semua hutangmu adalah sembilan
ratus ribu.” Celetuk pak Joko. “Mmm… Tunggu sebentar ya pak. Mau minum apa pak?
Atau mari pak, silahkan masuk dulu.”. “ah, tak usah, aku mau cepat, kau ambil
saja uangmu cepat.” . Ibu langsung ke kamar mengeluarkan sebuah kaleng roti
yang berisikan harta kami. Yang hanya tersisa hanya dua lembar uang lima puluh
ribu, tiga lembar uang sepuluh ribu dan delapan lembar uang seribu. Ia
mengambil semua dan mendatangi pak Joko. “Ini yang aku punya, pak” memberikan
seluruh lembaran tadi. “Hah? Sedikit sekali? Ini hanya untuk makan siangku dua
hari! Aku gak mau tahu, aku beri waktu lima hari lagi. Kau harus melunasinya.
Apabila tak kunjung lunas akan ku gadai rumah ini.” Ancam pak Joko. Hati ibu
merasa senang mendengar kebaikan pak Joko. Jarang, mungkin sedikit sekali
rentenir baik seperti dia.
Hari ketiga, ayah belum pulang juga. Aku kasihan kepada
ibu yang sedang duduk di teras rumah, kelelahan satu harian menjaga jompo di
kota. Tak terlihat lagi paras cantik ibu. Yang ada hanyalah wajah yang tak
terawat lagi. Ia sangat khawatir dengan ayah. Apa yang harus aku lakukan?
Menyusul ayah ke laut? Tidak, itu berarti aku mendatangkan maut karena ombak
tak bersahabat akhir-akhir ini. Ya, aku akan berusaha. Mencari uang untuk
melunasi hutang ibu.
“Mau kemana, Cikal? Sudah sore mau keluar?” sambil
mengusap air matanya. Sore? Pikirku tidak. Ini masih pukul dua siang, mungkin
pikiran ibu lagi banyak, sampai-sampai ia tidak tahu pukul berapa ini. “Cikal
mau ke pasar bu, mau mencari pekerjaan, untuk melunasi hutang ibu,” “Sudahlah
Cikal, belajar saja yang baikm jangan mengurus ibu.” ucapnya. “Bu.. Cikal libur
selama tiga minggu, menunggu hasil UN dan raport bu, jadi, ibu jangan
mengkhawatirkan Cikal.” “Ibu mengerti Cikal. Baiklah, jika itu maumu.” Aku
keluar dengan sebelumnya mengecup tangan ibu.
Aku pergi ke sebuah grosir yang menjual segala sembako.
Aku mendapatkan pekerjaan disana. Menjadi pengangkat beras dan menjualnya.
Hasilnya? Ya lumayan. Aku mendapatkan lima belas ribu rupiah. Jika aku
kumpulkan sebelum pak Joko datang, mungkin bisa meringankan pekerjaan ibu untuk
mengumpulkan uang. Ibu pergi ke kota dan menjadi penjaga jompo. Hasilnya juga
memuaskan.
Dihari pak Joko datang, ia datang pagi sekali. Dengan
seragam lengkapnya, baju hitam, celana hitam, kacamata hitam dan sepatu
mengkilat. “Aisyah, oo Aisyah.. Hutangmu Aisyah.. aku menagihnya sekarang.”.
Bergegas ibu membuka pintu sambil memasang kerudungnya. “Pak, saya hanya punya
setengahnya. Mas Hendra belum pulang dari kemarin.” Ucap ibu. “Lama sekali ia
pulang? Selingkuh lagi dia mungkin? Ya sudah, setengahnya juga tidak apa. Tapi
setelah Hendra pulang, lunaskan hutangmu ya.” Ibu hanya tersenyum dan pak
Jokopun berlalu.
* * * *
Hari ke enam, ayah belum pulang. Aku,ibu dan adik-adikku
hanya bisa menyantap makan malam dengan nasi dan garam. Lebih nikmat jika
ditemani ayah. Tok tok tok. Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku
membukanta. AYAH! Aku tahu dia akan pulang. Aku bisa merasakan aroma pelautnya!
Aku bisa mengecup tangan kasarnya lagi! Hampir aku menitikkan air mata karena
itu.
Kami makan malam bersama, aku menceritakan kejadian kami
kepada ayah dan ayah menceritakan kejadiannya. Aku sangat bangga kepada ayahku.
Melintasi lautan mencari nafkah demi anak dan istrinya. Mencari ikan bersama
beberapa temannya. Ia terdampar di pulau kecil karena badai yang mengguncang
kapal ayahku.
“Yah,
hutang kita tinggal setengah lagi kepada pak Joko.” Aku memecahkan keheningan
disaat beku setelah makan. Ayah mengeluarkanplastik di kantongnya. “Sebelum
ayah pulang, ayah melelang hasil melaut kami, kami mendapatkan 15 ekor ikan besar,
lumayan besar dan kalian tahu? Ayah bisa membayar semua hutang kita dan
mendapatkan lebih dan untuk kau masuk SMA, Cikal.” Aku terharu melihat ayah begitu besar
semangatnya untuk membahagiakan kami. Lalu, setelah berbicara cukup lama, ayah
pergi ke rumah pak Joko untuk melunasi hutang kami.
Hari
kedua kepulangan ayah. “Buk, aku mau melaut lagi, semoga aku bisa mendapatkan
seperti kemarin, mendapatkan ikan besar. Doakan aku ya bu.” Ibu tersenyum
melihat ayah “Kami selalu mendoakan ayah disini selalu.” Dan ayah berlalu,
berpanitan kepada kami dan pergi besama teman-temannya. Mereka bertiga, dengan
semangat pelaut, otot yang kekar saat menarik kapal ke laut. Adikku melambai ke
arah ayah. Sebelum ayah pergi, ia membisikkan kepadaku, saat kau sekolah nanti,
banggalah, ayahmu adalah seorang pelaut, pelaut ikan besar. Aku hanya bisa
tersenyum sendiri karena ikan besar hanyalah kebetulan jikapun ayah
mendapatkannya.
* * * *
Delapan
hari lagi aku akan menerima hasil raportku. Hari liburku diisi dengan bekerja
di grosir di menjaga jompo di kota.
Sekarang mungkin hari-hari tampak biasa saja tanpa ayah, karena kami sudah
tidak mengkhawatirkannya lagi karena ayah sudah mengatakan bahwa mungkin ia
akan lama. Tetapi, aku ingin ayah melihat dan mengambil raport ku di sekolah
nanti. Aku tak sabar. Pagi, siang , sore, malam, aku tetap menunggu ayah.
Di
hari aku ingin menerima raport, aku tak ingin mengambil raport tanpa ayah. Ibu
memujukku untuk pergi bersamanya mengambil raportku. “Ayolah Cikal, ayah pasti
senang walaupun bukan ia yang mengambil raportmu.” Aku tetap berdiam di kamar,
dan akhirnya aku menuruti perintah ibu untuk pergi bersamanya menerima raport.
Sesampai
di sekolah, jantungku berdegub kencang. Aku takut mengecewakan ibu, apalagi
ayahku dengan apabila nilaiku buruk. “Cikal” kata pak Safrul sebagai wali
kelasku memanggil ibu untuk menghadapinya di meja depan. Mereka cukup lama
berbicara, aku tak tahu apa yang mereka katakan. Aku melihat muka datar dari
wajah ibu. “Cikal, kita akan melihat hasilmu bersama ayah nanti.” Ah! Aku
sangat kecewa dengan pernyataan ibu, harus berapa lama lagi aku harus menunggu
ayah untuk membuka raportku? Ah, masa bodoh, yang jelas bersama ayah.
Aku
lebih kecewa saat ayah tak kunjung pulang. Dua hari setelah pembagian raport. Antara
ayah dan hasil raportku. Aku sangat ingin membukanya tapi aku ingin melihatnya
bersama ayah. Tapi ayah belum pulang juga. Ahh! Aku harus membukanya. “Bu..
kita harus membukanya” aku mendatangi ibu yang sedang mencuci. “Buka apa?” ibu
menyeletuk sambil menyuci. “Raport Cikal, Bu”. “Tapi kau ingin melihatnya
bersama ayah? Mmmmm.. Tapi..” putus ibu. “Tapi apa , Bu?” “Mmm.. ayo kita
buka!”
Selesai
ibu menyuci, kami langsung mengambil sebuah map tipis yang disimpan ibu di
lemari. “Kau mendapatkan juara kedua, Cikal. Kau mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan sekolahmu ke kota.” Aku tidak menyangka, aku menitikkan air mata.
Walaupun bukan juara pertama, tapi, aku sangat bahagia karena bisa mendapatkan
beasiswa. “Eh, eh, jangan senang dulu, kita diskusikan ini dengan ayah, apakah
kau bisa melanjutkan sekolah ke kota atau tidak. Hening sejenak dan pecahlah
tawa kami. Ya, ayah.
Aku
tidak sabar, kapan ayah pulang, apakah ia terdampar lagi? Apa ia sedang
melelang ikannya? Atau ia sudah mati? Ntah mengapa aku memikirkan itu. Ah!!
Masa bodoh!! Aku harus berfikir positif. Ayah pasti masih berada di pulau kecil
bersama teman-temannya sambil memikirkan bagaimana mereka bisa pulang dengan
selamat mengarungi kejamnya ombak.
* * * *
Sudah dua minggu
ternyata ayah tidak pulang juga. Aku mengambil inisiatif untuk mendaftar ke SMA
di kota sendiri tanpa izin ayah.
Dan
ternyata, memang benar, aku lulus di SMA di kota, kegembiraanku tak bisa
dilukiskan lagi. Bagaimana bisa seorang
anak kampung bisa masuk ke sekolah hebat di kota yang didalam sekolah tersebut
terdapat orang-orang yang tak mengenal jala, perahu kecil, ataupun udang umpan.
Yang mana orang tua mereka selalu bisa mengenakan sepatu kilat dan kuda besi
mewah. Sedangkan aku? Seorang anak kampung dengan orang tua yang hanya
merupakan penjaga jompo dan nelayan. Hmm.. terfikir dalam benakku lagi, apakah
ayah masih mengizinkanku bersekolah disini?
Ayah. Aku tetap menunggu ayah, aku selalu berdoa agar
ayah selamat dari kejamnya lautan itu. Kami semua sangat mengkhawatirkan
ayah. Aku yang selalu merindukan wajah
gelap itu, tangan kasar yang selalu aku salam ketika ingin berpamit sekolah,
dan aku yang sangat menginginkan ayah.
“Ya Allah, bantu aku ya Allah, aku
sangat rindu ayahku. Aku rindu tubuh tegasnya, aku rindu wajahnya yang
menghitam karena sinar matahari, aku rindu akan tangan kasarnya lagi. Ya Allah,
bolehkah aku bertemunya lagi?”
* * * *
Aku
sangat kecewa, kesal dan marah. Kenapa? Kenapa Tuhan tidak mendengarkan doaku?
Sudah tiga minggu aku menunggu ayah, tapi hasilnya kosong. Aku mendengar rumor
dari kampung selatan, pelaut ikan disana menemukan pecahan, serpihan kapal, dan
bangkai ikan besar disekitar kapal tersebut.
“Aku tahu itu bukan ayah. Pasti bukan ayah. Tapi itu
mungkin ayah, pasti itu ayah!” Aku tak
sanggup mendengar rumor-rumor tersebut. Aku mengingat kembali saat ayah
membantuku mengerjakan pekerjaan sekolahku, aku mengingat ayah membuatkanku
sebuah kapal kecil dari serabut kelapa, dan aku terus membuka memoriku tentang
ayah.
Ya,
rumor itu benar. Itu adalah ayah. Aku tak bisa melihat tubuh tegapnya lagi, tak
bisa melihat wajah gosongnya lagi, dan tangan kasar yang selalu kusalam
disetiap berpamitan. Dan aku hanya bisa mengenang apa yang dikatakan ayah, “Banggalah kepadaku, walaupun aku bukanlah
seorang besar yang bisa membesarkanmu dengan kebesaran, tetapi aku adalah jiwa
yang besar yang mampu mengolah kebesaran Tuhan untuk membesarkanmu”